Menumbuhkan Rasa Aman Bekerja

Menurut cerita para orang tua, ditahun 50-an atau 60–an , kira kira empat puluh atau lebih dari lima puluh tahun lalu, asal punya sedikit pendidikan, tidak sulit orang mendapatkan pekerjaan. Bahkan dijamin
bisa terus kerja sampai pensiun. Dimasa itu jalanan sepi, mobil masih bisa dihitung dalam angka ratusan, aman tenteram, segala kegiatan dilakukan manual. Apakah kembali kemasa itu yang kita inginkan ?

Kemudian, masih adakah job security dizaman instant , remote dan digital seperti saat ini? Katakanlah saat kita hadapi kenyataan dimana ketika seorang spesialis yang khusus direkrut sebuah perusahaan, dengan berbagai manuver keahliannya berhasil menanggulangi kebocoran anggaran perusahaan sampai titik nol. Namun ketika tidak terjadi lagi pencurian atau kebocoran, orang seperti ini oleh perusahaan dianggap telah selesai melakukan pekerjaanya, dan hanya bisa terus dipakai bila ia mampu memberi nilai tambah lain diatas kemampuan yang sudah ditunjukannya, misalnya melakukan tindakan preventif, atau menemukan jalan baru dan berinovasi secara kreatif.

Apakah atlet tidak menghawatirkan job security ? Begitu kalah dalam suatu pertandingan, maka job nya sebagai atlet terancam selesai. Namun bila ia sedikit berfikir keras ia bisa tetap menjaga employment-nya. Ia bisa membuat nilai tambah dari pengalaman, mental dan keterlatihannya. Lihat saja para atlet juara bulu tangkis dari China yang harus mengangkat barbel, atau petinju sekelas Elias Pical yang perlu lari menyusuri pantai dan menyelam berkali kali untuk menjaga stamina dan melatih kecepatan responnya.
Lelah ? Sudah pasti. Namun bukankah kita lebih baik berada dalam situasi kritis yang masih berada dibawah kontrol kita, sehingga ketika kita tidak 100% menguasai situasi, kita masih punya kecepatan respon yang terlatih.

Kita bisa gunakan mindset para olahragawan ini. Yang merasa perlu mendera diri mati matian melatih
endurance-nya dan melakukan self improvement agar tidak kalah telak bila bertanding diarena. Inilah cara berfikir orang yang selalu membiasakan diri diujung tanduk, dan memperoleh rasa aman yang timbul karena alertness, bukan karena keadaan status quo. Dengan pemahaman ini, jangan lagi kita
mendambakan keadaan aman tenteram ketika bekerja, seolah olah berada ditempat yang tidak berpenghuni . Lihat saja contoh kecil situasi ketika sedang menyiapkan tender, adrenalin ini mengalir deras dan kreativitaspun biasanya berkembang subur. Betapa produktivitas menjadi sangat tinggi ketika
menghadapi situasi kritis menghadapi persaingan.

Dengan menyadari bahwa krisis biasanya datang seperti roda berputar, maka sekali lagi.., tak perlu sungkan. Gunakanlah mindset olahragawan. Pelihara dan pertajamlah kemampuan, serta deralah diri melatih endurance untuk bekal menghadapi arena krisis yang menuntut adu kekuatan. Dan, agar tidak
kehilangan ketenangan, keyakinan akan kekuatan, kemampuan merespons dan optimisme sebagai daya tahan, atau ‘CORE’: control, ownership, response, endurance (Paul G. Stoltz,Ph.D, , 1997v;Adversity Quotient)