Beberapa ahli sependapat bahwa habit atau kebiasaanlah yang banyak membantu kita mengatasi kompleksitas kehidupan ini. Untuk membantu puluhan pengambilan keputusan yang kita lakukan tiap hari, kita tidak harus mempertimbangkan seluruh pilihan yang ada. Cukup hanya dengan mengandalkan kebiasaan-kebiasaan. Namun demikian, kebiasaan ini jugalah yang menjadi sumber resistensi ketika kita harus melakukan perubahan, oleh karena begitu menghadapi keadaan yang berubah,biasanya kita menjadi enggan.
Mari kita kenali the soft side of change ,yaitu hal-hal yang sangat mempengaruhi keberhasilan melakukan perubahan yangberasal dari manusia, atau dari sebuah organisasi. Sekarang ini tampaknya sudah banyak eksekutif yang menyadari bahwa mereka harus melakukan suatu perubahan untuk memperbaiki usahanya. Hal inididorong oleh begitu banyaknya pendapat bahwa ; bila kita ingin mendapatkan perbaikan, lakukanlan perubahan. Bahkan Mario Teguh-pun dalam salah satu tayangan Golden Ways-nya, memberikan pesan yang sama , seraya menambahkan kepada kita setiap ’pribadi Super’ ; bersikaplah ramah terhadap setiap perubahan, sekalipun perubahan itu tidak selalu menguntungkan kita .
Dilapangan, coba kita lihat sebuah suasana ketika tindakan perubahan mulai dilakukan; Konsultan mulai banyak dipanggil. Desain baru mulai disodorkan. Penempatan baru mulai digagas. Ritual upacara selamatan-pun mulai digelar. Namun ada hal yang tidak boleh luput dari perhatian. Yaitu kondisi ketika desain dan struktur organisasi baru sudah disepakati, ternyata organisasi masih melakukan hal-hal yang sama seperti yang dilakukan sebelumnya. Artinya, sebenarnya tidak ada perubahan..?.
Selain soal habit atau kebiasaan,banyak sebab – sebab lain mengapa manusia malas menanggapi perubahan. Diantaranya , takut menghadapi ketidakjelasan atau ketidak pastian , dimana perubahan dianggap dapat mengancam kenyamanan yang sedang dia genggam, serta adanya perasaan takut kehilangan kendali atas kenikmatan yang sudah biasa diperoleh.
Perubahan adalah sebuah proses yang makan waktu , oleh karena itu untuk dapat melakukan perubahan secara efektif John P. Kotter berpendapat bahwa pertamatama ciptakanlah suasana great enough sense of urgency. Orang orang didalam organisasi harus berada dalam satu pemahaman bahwa mereka tengah menghadapi hal hal penting dan perlu perhatian serius. Kemudian, bangunlah kelompok / guiding coalition yang terdiridari orang orang yang kredibel dan kuat , baik dalam hal keahlian maupun reputasi, kedudukan dan hubungan-hubungannya. Yang diharapkan dari kelompok ini adalah kemampuannya dalam memberikan visi tentang arah perubahan.
Selanjutnya, bangunlah komunikasi yang efektif untuk mengkomunikasikan Visi kepada seluruh anggota dalam organisasi, agar semua pihak betul betul siap menerima tawaran perubahan itu dan tidak dihantui rasa khawatir untuk melakukan perubahan. Tanpa Visi yang jelas, pekerja akan menjadi bingung atau salah arah, karena tidak jelas pegangannya apa. Tapi, komunikasi itu sendiri belumlah cukup bila kita tidak mampumenyingkirkan rintangan yang menghadang kesiapan pekerja untukmelakukan perubahan.
Dalam babak perubahan, perlu ada pimpinan yang bisa menampilkan the ability to look a head and see whats coming up . Agar kecemasan dan kekuatiran para lapis bawah bisa dihindari. Kadang kadang, ada juga perintang lain, yaitu aturan-aturan lama yang sudah tidak senada lagi namun masih tetap digunakan sehingga berakibat kurang menguntungkan, atau adanya unsur kagetan dalam situasi iniyang cenderung ingin diuntungkan.
Hal terpenting, deteksilah perintang-perintang yang potensial menghambat, dan segera diatasi. John P. Kotter menunjukan tiga penyebab kegagalan dalam melakukan perubahan ; Pertama, bisa dari konsultan atau pemimpin perubahan yang tidak menyiapkan langkah langkah yang dapat menunjukan keunggulan jangka pendek dari sebuah langkah perubahan seperti ; penghematan biaya, perbaikan kualitas atau peningkatan produktivitas. Katakanlah dalam tempo satu tahun sejak perubahan itu dinyatakan Karena bagaimanapun orang butuh rangsangan untuk dapat melihathasil konkrit. Kedua, terlalu cepat mengumumkan kemenangan atau keberhasilan tanpa bukti yang dapat dirasakan, dan. Ketiga, Eksekutif atau pemegang eksekusi tidak mengagendakan perubahan kedalam perubahan budaya. Akibatnya perubahan hanya dirasakan sesaat, tidak sampai pada pembentukan nilai nilai baru yang dibutuhkan untuk menghadapi lingkungan usaha yang baru.
Pendapat kami , cukup jelas , bahwa untuk melakukan suatu perubahan bukanlah persoalan sepele. Kita semua boleh saja mempunyai konsep yang hebat, tapi bila tanpa komitmen untuk tekun menggarapnya bukan mustahil tidak akan didapat manfaat yang maksimal. Harap diingat, biasanya kita semua enggan beranjak dari comfort zone, atau ’daerah aman’ untuk merespons perubahan. oleh karena jeratan kebiasaan danmuatan kenikmatan , Kita sendiri biasanya enggan berubah. Silahkan perbaiki komitmen kita